Jangan Lepaskan Papua !


Kongres Rakyat Papua yang berlangsung tanggal 29 Mei-4 Juni 2000, menggugat penyatuan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dilakukan pemerintah Belanda, Indonesia, dan PBB di masa Presiden Soekarno. Menurut kongres, bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961. Selanjutnya kongres meminta dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua (Kompas, 05/06/2000).

Pemerintah tidak mengakui hasil Kongres Rakyat Papua (KRP) karena panitia dinilai telah menyalahi janji. "Tadinya saya membantu (kongres) supaya terlaksana dengan bantuan keuangan karena panitia kongres menjanjikan dua hal, yakni tidak ada orang asing di dalamnya (kongres) dan semua orang (Papua) boleh ikut," kata Presiden Abdurrahman Wahid kepada wartawan di Bina Graha, Jakarta, Senin (5/6) (Kompas, 06/06/2000).

Menanggapi hal itu, ketua DPR Akbar Tanjung, Ketua Fraksi Reformasi Hatta Radjasa, dan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa Taufiqurrahman meminta Presiden bertindak tegas terhadap pernyataan pemisahan Propinsi Papua dari Republik Indonesia. Tanjung bahkan mengatakan, Presiden tak perlu ragu menggunakan tenaga TNI untuk menjaga kesatuan RI (Kompas, ibidem).

Bagaimana pandangan Islam tentang lepasnya sebuah wilayah dari kesatuan negeri kaum muslimin? Juga apa bahaya lepasnya Papua bagi kaum muslimin penghuni negeri Islam Indonesia? Tulisan ini mengupasnya agar kaum muslimin dapat berhati-hati terhadap perangkap maupun rekayasa musuh-musuh Islam.

Tinjauan Historis Papua

Sejarah Papua tidak bisa dilepaskan dengan sejarah kepulauan Maluku, sebab selama berabad-abad wilayah pesisir kepala burung Papua selalu menjadi kawasan yang menyatu dengan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku. Saat itu Maluku dikuasai oleh empat kerajaan Islam; Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Pada abad XV Islam masuk ke Ternate dan Tidore. Raja Ternate yang pertama memeluk Islam adalah Gapi Baguna (1465-1486). Sedangkan raja Tidore yang pertama masuk Islam adalah Cirililiati yang kemudian berubah nama menjadi Sultan Jamaluddin. Berikutnya menyusul raja Jailolo (Sultan Hasanuddin) dan raja Bacan (Sultan Zainul Abidin). Dari Ternate dan Tidore, Islam berkembang ke Selatan sampai di Ambon dan Banda, ke Timur masuk ke Papua yang saat itu berada di bawah kekuasaan Tidore, ke Utara sampai di Mindanau dan Sulu, Philipina.

Bangsa kafir penjajah berusaha masuk ke kepulauan Maluku setelah Portugis mengalahkan Sultan Malaka (1511). Setahun kemudian mereka menemui Sultan Sirullah di Ternate. Pada tahun 1521 Spanyol masuk ke Kesultanan Tidore. Dengan taktik devide et impera Portugis dan Spanyol menyulut permusuhan antara Kesultanan Ternate dan Tidore hingga terjadi pertempuran antara dua kesultanan itu pada tahun 1529. Pada tahun 1549 seiring dengan makin kuatnya penjajah Portugis di daerah itu masuk pula missionaris Kristen untuk pertama kalinya dan Indonesia Timur menjadi basis pertama pusat Kristenisasi di Indonesia.

Belanda sejak tahun 1824 mengakui kekuasaan Kesultanan Tidore di wilayah kepala burung Papua hingga Mimika dan Kepulauan Schouten. Namun tahun 1828 Belanda mengklaim sebagian wilayah Papua menjadi bagian dari jajahannya. Meskipun pos administrasi secara permanen baru didirikan di Fakfak dan Manokwari pada tahun 1898 (lihat Departemen Agama RI, Tarikh Islam/Sejarah dan Kebudayaan Islam, 1986).

Selama PD II Jepang menguasai bagian Utara pulau Irian, namun setelah PD II Belanda mengambil alih kembali daerah-daerah yang ditinggalkan bala tentara Jepang. Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui Kemerdekaan RIS tanpa memasukkan Irian Barat ke wilayah RIS. Tanggal 1 Desember 1961 Belanda memerintahkan bendera Papua Barat dikibarkan berdampingan dengan bendera Belanda. Akan tetapi tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora yang berisi, gagalkan pembentukan negara Papua, kibarkan bendera merah putih di Irian, dan kerahkan semua kekuatan termasuk para sukarelawan. Setelah persetujuan Indonesia-Belanda di New York, AS, melalui resolusi PBB no. 1752 Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA). Resolusi itu juga melegalisir apakah Irian Barat tetap dalam kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia melalui plebisit pada tahun 1969. PBB pada tanggal 19 November 1969 lewat resolusi no. 2504 mengesahkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), yaitu Irian Barat menyatakan bergabung dengan NKRI.

Dari uraian sejarah di atas jelas bahwa Irian sebelum dikuasai Belanda adalah di bawah pemerintahan Islam Sultan Tidore. Oleh karena itu, wilayah Papua menjadi milik kaum muslimin. Manakala kekuasaan itu dirampas oleh orang asing, kaum muslimin harus menuntut mereka mengembalikannya. Rasulullah saw. bersabda:

"Tangan yang merampas sesuatu terkena tuntutan hingga ia mengembalikannya" (HR. Muslim).

Satunya Negeri-negeri Islam, Wajib !

Kaum muslimin adalah ummat yang satu, yang berbeda dengan ummat-ummat lainnya. Allah SWT telah menyatukan kaum muslimin karena kesamaan aqidahnya (keimanannya kepada Allah dan RasulNya). Rasulullah saw telah berhasil menerapkan sistem dan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan sejak berdirinya Negara Islam yang pertama kalinya di kota Madinah, kemudian penerapan sistem dan hukum Islam di bawah kekuasan Islam itu berlanjut di masa Khulafa Rasyidin, lalu Kekhilafahan di masa Umayyah, Abasiyah, hingga akhirnya masa Khilafah Islamiyah Utsmaniyah.

Kaum muslimin saat itu memiliki hanya satu pemimpin (Khalifah), memiliki satu sistem dan hukum, yaitu sistem dan hukum Islam, mempunyai satu wilayah yang amat luas yaitu Daulah Khilafah Islamiyah, memiliki kekuasaan politik dan militer yang siap menjaga penerapan sistem dan hukum Islam, yang siaga memelihara kesatuan wilayah Islam yang saat itu memanjang dari wilayah Maroko hingga Merauke melindungi jiwa, harta dan kehormatan kaum muslimin dimana saja mereka berada, menghancurkan kebathilan dan kekufuran yang diemban oleh musuh-musuh Islam, merendahkan kemusyrikan dan kekafiran, meninggikan Islam dan memuliakan kaum muslimin.

Pada masa Khilafah Islamiyah Utsmani itulah Kesultanan Islam Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo bergabung dalam naungan Daulah yang satu. Pada zaman itu pula wilayah Papua berada di bawah kekuasaan Kesultanan Islam Tidore. Artinya daerah yang ada di Kepulauan Maluku maupun Papua adalah negeri-negeri Islam yang bergabung dengan kekuasaan Islam tanpa peperangan hingga tanahnya dikelompokkan menjadi tanah ‘usyriyah (Ardlu al Usyriyah). Sama dengan wilayah Maluku dan Papua, juga daerah-daerah di Aceh, Minangkabau, Riau, Malaka (Malaysia), Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Lombok dsb. Semua itu tergabung dalam tanah usyriyah, karena penduduknya pada masa dahulu memeluk Islam tanpa peperangan/kekerasan dan bergabung dengan Kesultanan Islam lainnya, seperti Kesultanan Islam Pasai, Malaka, Banten, Demak, Gowa dll, hingga datang kaum Imperialis dari Eropa seperti Portugal, Spanyol, Inggirs, Belanda ke negeri-negeri Islam di kawasan Asia Tenggara.

Saat itu kaum muslimin amat memahami pentingnya kesatuan wilayah Islam, sebab Rasulullah saw telah melarang seorang muslim untuk melepaskan diri dari Jama’ah kaum muslimin (Daulah Khilafah slamiyah), sebagaimana hadits yang diriwayatkan melalui Arfajah:

"Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian sedangkan urusan kalian berada di tangan seseorang (Khalifah) kemudian dia hendak memecah belah kesatuan jamaah (Daulah Khilafah Islamiyah –red) kalian, maka bunuhlah dia." (HR. Muslim no. 3443).

Hadits ini melarang seorang muslim untuk melepaskan keterikatannya dari Khilafah Islamiyah, sekaligus memerintahkan kepada Khalifah untuk memberi hukuman yang amat keras, yaitu dibunuh (apabila tidak bertobat dan kembali bersama Jamaah kaum muslimin).

Perpecahan Wilayah Bukan Ajaran Islam

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda:

"Jika dibai'at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang kedua".

Secara manthuq, hadits itu melarang adanya lebih dari satu kekuasaan yang memerintah kaum muslimin. Dan mafhum hadits itu adalah tidak boleh adanya lebih dari satu negara bagi kaum muslimin. Atas dasar itu, negeri-negeri Islam yang berada di bawah satu negara wajib tetap berada dalam satu kekuasaan itu, yakni menyatu menjadi satu negeri.

Dengan demikian, pemisahan negeri kaum muslimin, sekalipun mayoritas penghuni negeri itu adalah orang-orang non muslim, tidak bisa dibenarkan karena itu bukanlah ajaran Islam. Lebih dari itu, setiap upaya memisahkan negeri Islam yang satu dengan yang lain adalah rekayasa imperialis Barat sebagaimana yang terjadi di berbagai negeri Islam. Setelah mengalahkan Khilafah Utsmaniyah, Barat mencaplok negeri-negeri kaum muslimin. Kemudian mereka membuat peta baru, membagi negeri-negeri Islam menjadi dunia Islam dan Dunia Arab. Dunia Arab yang kurang lebih seluas Indonesia mereka pecah belah menjadi lebih dari 23 negara. Duna Islam mereka pecah belah pula. India menjadi India dan Pakistan, lalu Pakistan menjadi Pakistan dan Bangladesh. Tanah Jawa Melayu mereka pecah menjadi Indonesia dan Malaysia, lalu Malaysia menjadi Malaysia dan Singapura. Dan kini Indonesia siap mereka buat menjadi berkeping-keping. Tahun lalu Timor-Timur mereka pisahkan. Kini Papua dan Aceh masih bergolak. Berkaitan dengan pemisahan wilayah yang banyak orang Nasraninya, kita tentu tidak lupa bagaimana mereka memprovokasi wilayah Balkan agar terlepas dari Khilafah Utsmaniyah pada akhir abad 19 dan dengan rekayasa busuk memecah wilayah Syam menjadi propinsi Siria dan Lebanon. Sejak itu Lebanon dikuasai oleh orang-orang kafir (lihat Shabir Ahmad dan Abid Karim, Akar Nasionalisme di Dunia Islam).

Dari dulu hingga kini kita tahu bahwa yang dicari oleh para penjajah Barat adalah kekayaan. Terkenal slogan imperialis, Gospel Gold Glory. Maka, apakah kaum muslimin saat ini masih juga dapat ditipu oleh rekayasa mereka menguasai bumi kaya Irian? Selama ini mereka sudah mengeruk tembaga, perak dan emas di lokasi tambang PT. Freeport, Timika. Mungkin mereka ingin lebih save dalam mengeksploitir bumi kaya itu? Tentulah mereka sudah meneliti berbagai kekayaan lain (di luar lokasi Freeport) yang akan lebih susah kalau masih tetap bersatu dengan Indonesia?

Ya, demokratisasi yang mereka pompakan di negeri ini tak lain dan tak bukan adalah demi kepentingan mereka yang kapitalistik. Marilah kita perhatikan ucapan salah seorang penasehat keamanan nasional Bill Clinton dalam sebuah pidatonya, 21 September 1993: "Kita harus menyebarkan Demokrasi dan ekonomi pasar bebas, karena hal ini akan dapat menjaga kepentingan-kepentingan kita, memelihara keamanan kita, dan sekaligus mendemonstrasikan nilai-nilai anutan kita, nilai-nilai Amerika yang luhur."

Dominasi dan kekuatan ekonomi serta perdagangan AS mampu mengguncang dan menghancurkan ekonomi maupun perdagangan suatu negeri atau bahkan suatu kawasan tertentu. Melalui IMF, Bank Dunia dan lembaga internasional lainnya, AS begitu juga negara-negara Barat lainnya mengeruk kekayaan negeri-negeri miskin yang mayoritasnya terdiri dari negeri-negeri Islam. Dengan dalih Demokratisasi, Globalisasi, Pasar Bebas, Transparansi, HAM, dan Pluralisme, mereka menebar racun yang mengakibatkan instablitas politik di banyak negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia.

Khatimah

Berdasarkan hal ini, secara syar'i kaum muslimin wajib mencegah upaya negara-negara kapitalis Barat yang kafir dalam merampas kekayaan alam kaum muslimin serta memecah-belah wilayah Islam menjadi keratankeratan kecil yang tak berdaya, dengan dalih HAM dan demokratisasi seperti yang sudah mereka lakukan atas Timtim.

Dan kaum muslimin tidak akan pernah mampu menghadapi penghinaan dan penindasan ini kecuali dengan berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam, dengan berdirinya negara Khilafah Islamiyah.

Jadi, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk berdiam diri dari kewajiban yang telah dibebankan Allah SWT kepada mereka untuk mendirikan sistem dan syariat Islam, apalagi ketika tidak ada lagi Daulah Khilarfah Islamiyyah yang menegakkan Undang-undang Allah SWT untuk memelihara jiwa, harta, kehormatan dan keamanan kaum muslimin dengan hukum Islam.

Ya Allah, kami telah sampaikan!